Clock

who have visited my blog♥

13 September 2009

Tanpa Kilau Mentari

hey my lovely bloggggggg, gue masa abis buka fb kan, trus langsung buka notifications yg banyak bangettt--- salah satunya ada gue di tag gt kan sama temen gue, dia nulis cerita baguuuuussss banget, trus dia tag ke gue deh hihihi namanya Syaninta Alvi Andira, yampun dia baik banget deh, berhubung gue gamau lama lama, baca ndiri ye


Authoress’ note: Assalamu’alaikum, teman-teman semua. Mungkin kalian agak bingung begitu melihat judul dari note yang Alvi sebarkan ke teman-teman ini, terkesan berbau cerbung. Yap, ini memang sebuah cerita. Cerita fiksi kok. Sebenarnya cerita ini telah Alvi tuangkan di buku tulis dalam bentuk novel, tapi karena Alvi berharap teman-teman bisa ikut membaca karya Alvi, Alvi publish juga deh di Facebook. Bagi teman-teman yang tidak berminat untuk membaca, silakan klik tombol ”back” tapi bagi yang berminat (mudah-mudahan ada, amin), selamat menikmati. ^^







Warning: Cerita ini fiksi. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan sebagainya...coincidence kok. XD






Genre: Angst, Romance, Friendship, Tragedy






-----






Bab 1 : Invitation






”Silakan masuk.”






Hanya dua kata tersebut yang terucap untuk menjawab ketukan pintu yang kudengar beberapa detik lalu. Aku terlalu seibuk dengan kumpulan berkas-berkas di atas meja yang harus kuberi stempel di setiap lembarnya. Bila tugas ”kecil” ini tidak kuselesaikan hari ini juga, entah seperti apa wakil kepala sekolah akan menceramahiku.






Si pengetuk pintu perlahan memasuki ruangan dan berdiri kikuk di hadapanku. Oh, ternyata seorang siswa. Aku tidak tahu namanya, tapi aku mengenal wajahnya—aku pernah berkunjung ke kelas anak ini. Ia siswi kelas 2. ”Mm...maaf mengganggu, Bu,” ucapnya pelan. ”Sepertinya Ibu sedang sibuk.”






Aku mengalihkan pandanganku dari tumpukan berkas dan tersenyum. ”Sebenarnya, ya. Tapi kalau kamu datang ke sini sebagai siswa yang membutuhkan guru BP sebagai pendengar, saya bisa menunda pekerjaan ini sebentar. Silakan duduk.”






Siswi itu mengangguk dan segera duduk berhadapan denganku. Ia tidak terlihat segugup tadi, namun wajahnya terlihat muram. “Ini…ini mengenai…mm, seseorang yang saya sukai, Bu. Bulan depan, dia akan pindah sekolah dan tinggal di luar kota. Saya bingung, apa sebaiknya saya berterus terang bahwa saya menyukainya...atau membiarkan dia pergi tanpa menyadarinya?”






Kehidupan cinta anak SMA, ya? Sudah cukup lama aku tidak mendengarkan curhat dengan topik seperti ini dari murid-muridku. Sejujurnya, aku pun pernah mengalaminya, meskipun aku tidak beruntung dalam hal itu.






”Begini,” Aku mulai melontarkan saran, ”Saya berbicara seperti ini bukan karena saya sudah bukan remaja seperti kamu lagi, tapi karena kamu yang masih remaja. Jalan hidupmu masih panjang, jangan dihabiskan dengan memikirkan masalah cinta. Maksud saya, wajar bila anak seusiamu tertarik dengan lawan jenis, tapi kamu boleh pegang kata-kata saya: mengutarakan perasaan tidak akan membuatmu lega. Padahal sebagai siswa SMA, bukan lelaki yang harus kamu prioritaskan.”






Ya, aku bisa membacanya dengan jelas. Siswi ini terlihat tidak puas dengan jawabanku. ‘Begini jadinya kalau menceritakan masalah percintaan dengan orang dewasa’…mungkin kata-kata tersebut sedang menyelimuti benaknya. “Tapi, Bu…bukankah justru saya akan merasa tidak tenang kalau orang yang saya sukai itu belum tahu bahwa saya menyukainya?”






Seulas senyuman terukir pada wajahku. Persis seperti dugaanku; nasihat orang dewasa tak lebih dari angin pengganggu di telinga para remaja yang masih labil. Tapi aku sama sekali tidak menyalahkan anak ini—aku juga pernah menjadi remaja. Aku bisa memahami rasa gelisah yang merundungnya. ”Saya tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, tapi...apa yang saya katakan sebelumnya adalah kesimpulan yang saya petik dari kehidupan emosi remaja dengan segala problema mereka yang saya ketahui selama ini.”






Siswi itu mengangkat wajahnya dan terlihat kembali tertarik dengan perkataanku. Diam-diam, aku bersyukur akan hal itu. Aku melanjutkan, ”Jika kamu ingin mengikuti saran saya, silakan. Tapi bila pendapat saya berlawanan dengan hati nurani kamu, jangan dipaksakan. Lakukan apa yang kamu anggap benar dengan tetap mempertimbangkan perasaan orang yang kamu sukai itu sendiri. Tak ada masalah yang tak memiliki jalan keluar, Nak. Apa bisa dimengerti?”






Aku menghela nafas lega begitu siswi tersebut mengangguk dan tersenyum kecil padaku. Aku sendiri tidak yakin jika saranku memang bisa membantu siswi pemalu ini—tapi kali ini, aku mampu menemukan secercah rasa puas di wajah lugunya.






Setelah mengutarakan rasa terima kasihnya padaku, ia mohon diri dan berjalan meninggalkan ruanganku. Aku meregangkan pergelangan tanganku dan menghela nafas lagi. Ingin rasanya aku kembali mengurus gundukan berkas-berkas di atas mejaku tapi rasa ”lelah” setelah memberi khotbah untuk seorang murid telah mengalahkan keinginanku untuk menyelesaikan tugas. Rasanya seperti kembali menelusuri diriku yang penyendiri dan selalu ingin mengikuti kehendak sendiri.






Mengapa aku merasa lelah? Ya, sederhana saja—karena apa yang aku katakan barusan sangat munafik. Secara logis, perkataanku mungkin tepat, tapi berlawanan dengan prinsipku. Setidaknya, prinsipku dulu. Apa yang kukatakan bukanlah kutipan kalimat yang kupetik dari ilmu psikologi yang kupelajari ketika kuliah dulu, apalagi dari suatu hasil pengamatan yang kujadikan bahan penelitian--tapi dari pengalamanku sendiri. Ya, sedikit berbohong tak jadi masalah besar, bukan?






Ya, nasib siswi barusan hampir serupa dengan pengalamanku dulu. Mungkin itulah sebab mengapa aku bersedia melayani anak itu di sela-sela kesibukanku. Oh Tuhan...lagi-lagi aku seperti ini, bernostalgia tanpa alasan jelas.






Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu lagi. Aku telah berjanji pada diri sendiri untuk tetap melangkah ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.






”Siang, Bu Suci! Sedang sibuk, ya?”






Aku melipat dahi. “Butuh jawaban?” cibirku dengan nada ketus. Wajahku dan nada bicaraku berubah total. Bukannya ingin terlihat galak, tapi untuk menghadapi guru matematika yang satu ini, aku tak perlu bermuka dua. Toh, aku memang sedang tak ingin diganggu.






“Bukannya mau mengganggu ketenanganmu, tapi aku terpaksa harus datang untuk membawa kabar buruk.”






“Kabar buruk?”






Guru matematika yang biasa kupanggil “Risa” itu menjawab, ”Kalau melihat keadaanmu yang sekarang, mungkin ini adalah kabar yang cukup baik.” Ia menyerahkan secarik amplop bertuliskan nama lengkap dan alamatku. Surat, ya? Apa dari orang tuaku? Tak biasanya mereka mengabarkanku dengan cara tradisional seperti ini. “Siap-siap saja, Bu.”






Sungguh, teman dekatku ini selalu membuatku yang sebenarnya tidak terlalu sensitif dengan keadaan sekitar, penasaran setengah mati. “Siap-siap apanya? Dan harus berapa kali kukatakan, kalau sedang tidak berada di depan murid, panggil nama kecilku saja. Lupa ya, kalau kita sudah saling mengenal sejak SMA?”






Untuk membalas perkataanku, Risa hanya mencubit pipiku. ”Kau mau membaca surat itu atau tidak?”






Aku mengangkat bahu dan sesuai dengan perintah Risa, kubuka amplop tersebut. Dugaanku salah, ternyata bukan surat dari orang tuaku—tidak, bahkan bukan surat yang hanya sekedar dilampirkan dengan sehelai kertas. Perlahan kutarik isi dari amplop tersebut—selembar surat yang dilapisi kertas karton yang hanya dengan melihat kulitnya saja, sukses membuatku ingin menampar kedua belah pipiku sekeras mungkin dan membangunkan diri sendiri dari mimpi ini—jika apa yang sedang kusaksikan ini memang tak lebih dari sebuah mimpi. Mimpi buruk.






Undangan Pernikahan






Mohammad Kasih & Khairunnisa






TBC






-----






Authoress’ Note: Abal yah? Terlalu bacot karena kebanyakan deskripsi ya? Habisnya memang style of writing Alvi begitu, udah bawaan lahir. Harap maklum ya. Kalau bisa Alvi pingin memperbanyak diksi, biar lebih indah dan lebay gitu –jailah-. This is just the beginning, jadi kalau mau protes jangan kebanyakan ya –ngeles-. Alvi akan sangat1000x berterima kasih kalau bisa mendapat komentar, kritik, saran, kesan…pokoknya respon dari teman-teman yang sudah berbaik hati mau membaca cerita amatir ini. Maaf kalau banyak typo atau kekurangan-kekurangan lainnya. Alvi juga masih belajar, hehe. :)






Terima kasih.



itu bener bener gue copy paste dari notes yang dia bikin.........WOW..

pas gue baca, buset deh, ga beda jauh loooooh wey! akakak

ehiyaa, tunggu cerita yg selanjutnya yaoooo, dia udh janji mau ngetik lagi HIHIHI keren kan kan kan?


udah yaa semua, dibaca loooh soalnya kerennn! daaaaaaah

1 comment:

  1. Sarah kebanyakan muji ah...jadi malu. Hehe.
    Thanks ya. :)
    _Alvi_

    ReplyDelete